Meredefinisikan Pelanggaran HAM dalam Tindak Pidana Korupsi
“Korupsi adalah kejahatan hak asasi manusia, sehingga penanganannya harus luar biasa”
“Korupsi adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat”
Kalimat di atas sudah sehari-hari didengung-dengungkan oleh semua kalangan, baik dari orang awam, hingga praktisi hukum. Atas dasar itu, perang terhadap korupsi hingga wacana memperkuat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menguat Hampir semua orang sepakat bahwa budaya korupsi sudah sedemikian parah melanda negeri ini.
Ramai-ramai, orang bicara bahwa semua koruptor harus dimiskinkan dan pelaku harus dihukum seberat-beratnya tanpa pandang bulu. Diperlukan langkah-langkah hukum yang luar biasa untuk memberantas kejahatan tindak pidana korupsi yang juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Bahwa tindak pidana korupsi harus diberantas adalah sebuah keharusan, akan tetapi menjadi menarik ketika kita coba mempersamakan level kejahatannya dengan kejahatan terhadap hak asasi manusia.
Hak asasi manusia dapat dikatakan buah reformasi yang paling “manis”. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dibentuknya Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah produk awal hak asasi manusia pasca reformasi. Ditambah lagi, Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap dua instrumen hak asasi manusia yang paling dasar yakni International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights melalui Undang-Undang No. 11 dan No. 12 tahun 2005. Keseluruhan beleid tersebut mengatur mengenai hak sebagai manusia yang paling dasar sehingga menjadikan pelanggaran hak yang diatur melalui regulasi tersebut sebagai kejahatan yang paling “jahat”. Pada tahun 2003, Indonesia juga melakukan ratifikasi konvensi PBB mengenai Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention against Corruption).
Pertanyaanya kemudian, apakah semua tindak pidana korupsi yang diatur melalui Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu juga melangar hak asasi manusia yang berarti merupakan kejahatan berat? Untuk menjawabnya kita memerlukan dua ilustrasi: Pertama, ketika seseorang memberikan suap kepada hakim dalam suatu perkara untuk memberikan putusan yang menguntungkan pemberi suap. Kedua, ketika seseorang pejabat publik menggunakan diskresinya untuk membuat keputusan publik. Kemudian keputusan publik tersebut ternyata salah dan mengakibatkan kerugian negara. Kedua ilustrasi ini sama-sama merupakan tindak pidana korupsi yang diatur melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Di dalam ilustrasi yang pertama, Dalam hal ini, tindak pidana korupsi secara langsung menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, yakni hak untuk mendapatkan proses hukum yang imparsial dan impersonal (fair trial) menjadi terlanggar. Dalam kasus ini, negara mempunyai tiga tugas penting: untuk menghargai hak asasi manusia warga negaranya, untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya dan untuk melindungi warga negaranya. Rasio pemikiran bahwa korupsi merupakan pelanggaran hak asasi manusia menjadi masuk akal.
Di dalam ilustrasi yang kedua, tindak pidana tersebut tidak memiliki akibat langsung terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Rasio pemikiran pada ilustrasi pertama kemudian menjadi tidak valid digunakan dalam ilustrasi ini. Alasannya, perbuatan tersebut tidak memiliki akibat langsung akan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Bahwa pemikiran kalau saja kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian, maka uang negara tersebut dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dapat dinikmati semua orang memang tidak dapat dihindarkan karena hak untuk menikmati pembangunan adalah hak asasi manusia juga, sama seperti hak untuk mendapatkan peradilan yang imparsial dan impersonal. Bedanya, tidak ada direct evidence untuk membenarkan pernyataan tersebut. Fakta telah terjadinya kerugian negara, tidak menjadi faktor yang determinan terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks ini.
Identifikasi kejahatan korupsi berdasarkan dua ilustrasi di atas menjadi sangat penting. Karena terkadang, upaya “luar biasa” untuk memberantas tindak pidana korupsi bersinggungan dengan hak asasi manusia itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, kewenangan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi luar biasa besarnya, dan seringkali memicu perdebatan. Misalnya upaya penyadapan pada saat proses penyelidikan berpotensi melanggar hak privasi seseorang, tidak dikenalnya pemberhentian penyidikan dalam UU KPK berpotensi melanggar asas presumption of innocence, upaya “memiskinkan koruptor” dengan m mengkaitkan pencucian uang juga dapat melanggar hak seseorang untuk memiliki properti (right to property). Atas dasar itu, PBB pun menyatakan bahwa tidak semua tindak pidana korupsi adalah pelanggaran HAM, ada kalanya korupsi hanya merupakan “pintu masuk” bagi pelanggaran HAM.
Di negara-negara maju, yang sistem hukumnya mirip dengan Indonesia seperti Belanda dan Perancis, upaya-upaya “luar biasa” terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut disupervisi oleh hakim komisaris (examining magistrate). Tujuannya adalah menjamin segala upaya pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi proporsional dan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Hakim komisaris ini kemudian menjadi “wasit” ketika ada pelanggaran hak asasi manusia di dalam upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan. Sebenarnya, di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita, coba diadopsi hal yang mirip-mirip, yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan walaupun perannya tidak sebesar rechter-commissaris di Belanda dan juge d’instruction di Perancis.
Di Indonesia, upaya mempersamakan “level kejahatan” tindak pidana korupsi dengan pelanggaran hak asasi manusia di satu sisi dapat memberikan pendidikan positif, yakni meningkatkan public awareness masyarakat terhadap kejahatan korupsi itu sendiri. Di sisi lain, dapat menimbulkan efek negatif, yakni justifikasi terhadap upaya-upaya “luar biasa” yang justru malah memiliki potensi pelanggaran hak asasi manusia. Redefinisi terhadap tindak pidana korupsi sebagai kejahatan HAM dengan cara melakukan identifikasi terhadap perbuatannya dalam perspektif hak asasi manusia sangat diperlukan agar tindakan-tindakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi nantinya tidak bertentangan dengan hukum dan menghargai hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang.
Aristo M.A Pangaribuan, S.H., LL.M
Ketua LKBH PPS UI dan
Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum UI
sumber gambar: okezone.com