Pembebasan Bersyarat dan Rasa Keadilan Kita
Pollycarpus, terpidana pembunuh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir, baru saja mendapatkan “hadiah” pembebasan bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 28 November 2014 kemarin. Polycarpus dianggap layak mendapatkan hadiah tersebut, karena selama menjalani hukuman telah berperilaku baik. Pollycarpus bebas meski baru menjalani masa hukuman 8 tahun penjara. Padahal ia seharusnya menjalani hukuman 14 tahun. Sebelumnya pada bulan September lalu Hartati Murdaya juga mendapatkan “hadiah” pembebasan bersyarat. Hartati Murdaya adalah terpidana kasus korupsi karena terbukti memberikan uang senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah.
Pemberian hadiah pembebasan bersyarat oleh pemerintah lekas mendapat protes keras dan kritik tajam dari masyarakat biasa hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, perbuatan yang mereka lakukan adalah kejahatan yang luar biasa dan mereka dianggap tidak layak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Alasan utamanya, pembebasan bersyarat bagi pembunuh dan koruptor mencederai rasa keadilan kita.
Dilihat dari kacamata hukum, Pembebasan bersyarat memang merupakan hak yang dapat diberikan kepada terpidana sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang sebelumnya juga diatur melalui PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Menteri Hukum dan HAM pun telah menyatakan, bahwa pembebasan bersyarat adalah hak terpidana, karena terpidana mempunyai hak yang sama di depan hukum.
Pertanyaannya yang paling mendasar kemudian adalah, benarkah ada rasa keadilan yang dicederai dengan pemberian pembebasan bersyarat tersebut? Respon publik terhadap pelanggar hukum, utamanya kejahatan-kejahatan yang dianggap luar biasa, mau tidak mau membentuk apa yang dinamakan rasa keadilan masyarakat tersebut. Bukti nyata adalah keluarnya produk hukum PP 99/2012 yang mengatur tentang remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat yang menuai kontroversi karena dianggap melanggar hak-hak terpidana.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, hal yang harus diperhatikan adalah melihat tujuan pemidanaan tersebut di dalam kerangka hukum acara pidana yang memiliki perspektif keadilan (criminal justice). Adalah hal yang natural, ketika masyarakat menginginkan hal yang setimpal untuk dapat “membalas” apa yang telah dilakukan oleh para terpidana (retribution). Hal ini sesuai dengan pendapat Francis Bacon (1561-1626) dalam bukunya Of Revenge yang menyatakan bahwa rasa ingin melakukan pembalasan yang setimpal adalah sesuati hal yang alami (Revenge is a kind of wild justice; which the more man’s nature runs to).
Dua Motif Pemidanaan
Pembalasan tersebut harus dilihat setidaknya dari dua motif besar: Pertama, pembalasan sebagai aksi balas dendam (revenge) dan yang kedua, pembalasan untuk kepentingan yang lebih besar, yakni melakukan restorasi terhadap nilai-nilai keadilan masyarakat yang telah dilanggar oleh terpidana (value restoration).
Terhadap motif yang pertama, tendensinya tentunya adalah untuk memenuhi apa yang disebut rasa keadilan masyarakat yang lahir melalui persepsi publik. Semangatnya adalah, bagaimanapun terpidana harus dihukum seberat-beratnya dan kalau perlu, dicabut segala hak-haknya. Pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa dan terpidana dalam motif ini, adalah ekses yang tidak dapat dihindari (oversteps the boundaries of the law). Misalnya saja, protes para tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kunjungan, pakaian hingga jumlah buku yang dapat dibaca dibatasi. Hal ini dikarenakan dalam motif ini tujuan utamanya bukan hanya untuk mengembalikan tatanan sosial di dalam masyarakat yang telah dirusak oleh terpidana, akan tetapi untuk membalaskan dendam demi mencapai apa yang disebut dengan rasa keadilan masyarakat. Nilai-nilai keadilan dalam motif ini akan terpenuhi ketika melihat terpidana menderita.
Sedangkan di dalam motif yang kedua, dikedepankan asas proporsionalitas dalam menghukum terpidana, karena tujuan utama hukumannya adalah untuk melakukan restorasi nilai-nilai yang telah dia langgar di dalam masyarakat dan bukan pembalasan dendam. Di dalam motif ini, ekses yang terjadi adalah masyarakat menjadi marah dan tidak puas karena seringkali dahaga akan rasa keadilan tidak terpenuhi. Di dalam motif ini, titik beratnya ada pada prosedur yang seimbang berdasarkan perspektif hukum acara pidana. Misalnya ketika pemerintah mengatakan bahwa pembebasan bersyarat adalah hak semua terpidana, tanpa membedakan kasusnya. Dalam konteks tersebut, bisa jadi pemerintah menitikberatkan kepada fungsi pembinaan yang ada di dalam motif kedua.
Dalam konteks penegakan hukum, maka ekses yang ada di dalam motif pertama akan jauh lebih membahayakan daripada motif yang kedua. Di dalam motif yang pertama, rasa keadilan tersebut dibentuk melalui suatu kehendak masyarakat yang di dalamnya melibatkan perasaan emosional yang terdiri dari rasa ingin membalas dendam (deservingness, suffering and vengeance). Perasaan emosional tersebut seringkali mengabaikan rasio hukum yang ada sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum acara di dalam menjalankan fungsi penegakan hukum itu sendiri.
Sedangkan di dalam motif yang kedua ketika hukum ditegakkan secara prosedural sesuai dengan hukum acara, maka yang terjadi adalah kemarahan masyarakat karena dahaga emosionalnya tidak terpenuhi. Contoh nyata, adalah masyarakat yang marah terhadap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap Pollycarpus dan Hartati Murdaya. Contoh yang lebih ekstrem terjadi di Amerika Serikat (AS) ketika pecah kerusuhan di wilayah Ferguson dikarenakan dakwaan terhadap polisi kulit putih yang diduga menembak mati remaja kulit hitam tak bersenjata ditolak oleh Grand Jury pada tanggal 25 November 2014 lalu.
Melalui kedua motif di atas, pembebasan bersyarat yang diberikan oleh pemerintah haruslah dikaji terlebih dahulu sehingga nantinya koreksi dan kritik terhadap langkah-langkah pemerintah dalam menegakkan hukum tidak semata-mata untuk memuaskan perasaan emosional penuh dendam akan tetapi mengedepankan asas-asas keadilan yang ada di dalam hukum acara pidana.
Aristo M.A Pangaribuan, S.H., LL.M
Ketua LKBH PPS UI dan
Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum UI
sumber gambar: solopos.com