The Indonesian Perp Walk: Paradoks Praduga Tidak Bersalah
Belakangan ini, publik dipertontonkan sebuah pertunjukan yang harus dibilang cukup menarik oleh para penegak hukum di republik ini. Atas nama penegakan hukum dan transparansi kepada masyarakat, para penegak hukum “mempresentasikan” orang yang diduga melakukan tindak pidana (tersangka) untuk dapat dilihat oleh publik dan dapat diliput oleh wartawan. Misalnya, dalam perkara tindak pidana pembunuhan dengan cara meracuni kopi oleh Jessica, perkara penyalahgunaan narkotika jenis sabu oleh Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi atau para tersangka dalam kasus “Mama Minta Pulsa”. Harus diakui, tidak sedikit publik yang memberikan apresiasi terhadap langkah tersebut karena persepsinya publik berhak tahu bahwa penegakan hukum sedang bekerja sebagaimana mestinya.
Ketika mengamati “presentasi” tersebut, timbul pertanyaan apakah para tersangka ini sudah pasti bersalah dan pantas mendapatkan perlakuan seperti itu? Bukankah mereka, ketika dipresentasikan, baru menyandang status tersangka dan belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan? Bukankah presentasi tersebut seolah-olah menyatakan orang tersebut bersalah, setidaknya di mata publik? Dimana asas praduga tidak bersalah?
Asas praduga tidak bersalah, adalah asas, yang secara sederhana dapat diartikan bahwa seseorang, di dalam sistem peradilan pidana, tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Asas tersebut dapat ditemukan di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang mengenai Ratifikasi Konvensi Hak Sosial dan Politik. Asas praduga tidak bersalah, digolongkan sebagai salah satu hak asasi manusia.
Tetapi, apa sebenarnya arti praduga tidak bersalah tersebut? Bukankah kepentingan publik semestinya didahulukan daripada apapun dan pelaku kejahatan sudah menciderai tatanan publik melalui bukti permulaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu menjadi perdebatan. Bukan saja di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Pihak yang mendukung langkah penegak hukum dalam “mempresentasikan” tersangka akan dengan mudah mengatakan bahwa langkah tersebut untuk memberikan “pesan” bahwa hukum sedang ditegakkan, dan publik berhak untuk tahu.. Dalam konteks tersebut, tidak ada pelanggaran asas praduga tidak bersalah karena akan sangat sulit diterima secara logika apabila kita harus menganggap seseorang tidak bersalah, padahal sudah ada bukti permulaan apalagi terhadap kejahatan-kejahatan yang berdampak luas. Sederhananya, asas praduga tidak bersalah tersebut harus diterjemahkan dalam kaca mata kepentingan publik yang lebih luas, bukan kepentingan individu si tersangka dan publik berhak untuk tahu.
Sebaliknya, pihak yang menentang akan mengatakan bahwa dengan “mempresentasikan” sang tersangka maka secara jelas asas praduga tidak bersalah secara nyata dilanggar. Para tersangka tersebut diperlakukan “lebih rendah” dari manusia. Apapun alasannya, ritual yang mempertontonkan sang tersangka memakai baju tahanan, memakai borgol dan diperlihatkan barang-barang buktinya merupakan sebuah statement yang sangat tegas kepada publik bahwa mereka pantas diperlakukan seperti itu karena mereka memang pantas mendapatkannya. Mereka terlebih dahulu sudah diadili publik, sebelum ke pengadilan yang sebenarnya. Andaikata pun sang tersangka bebas di pengadilan, tapi kerusakan terhadap citra dirinya sudah terjadi.
Bukan saja di Indonesia, persoalan “mempresentasikan” tersangka juga terjadi di negara-negara lain dalam level dan konteks yang berbeda. Di Amerika Serikat misalnya, presentasi tersangka dikenal dengan nama perpetrator walk (perp walk). Tidak seekstrim di Indonesia, sang tersangka hanya dibawa untuk sengaja diperlihatkan kepada para wartawan, tanpa sesi tanya jawab. Salah satu perp walk yang paling fenomenal adalah ketika Dominique Strauss-Kahn, direktur International Monetary Fund (IMF) disangka melakukan pelecehan seksual di sebuah hotel di New York pada tahun 2011. Pada akhirnya, tuduhan terhadap Dominique Strauss-Kahn dibatalkan karena kurangnya bukti. Akan tetapi, sampai sekarang, gambar Dominique Strauss-Kahn digiring oleh kepolisian New York dengan tangan terborgol masih ada dimana-dimana, dan dia sangat menyesalkan karena pada waktu itu dipaksa untuk melakukan perp walk.
Mirip-mirip dengan Indonesia, Mexico mempunyai sesi yang dinamakan presentacion yang diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan berdampak luas dan serius, utamanya terhadap para kartel narkoba. Dalam sesi tersebut, tersangka diberikan baju tahanan, barang bukti dipertunjukkan dan para tersangka diwawancara. Alasan penegak hukum Mexico dalam melakukan hal tersebut adalah untuk mengirimkan pesan kepada masyarakat bahwa pemerintah Mexico serius dalam memberantas narkoba.
Terlihat nyata, dalam praktiknya asas praduga tidak bersalah itu sendiri menjelma menjadi sebuah paradoks yang nyata. Apakah harus diterjemahkan semata-mata normatif, atau harus ditafsirkan lebih dalam secara fundamental demi pemenuhan hak-hak asasi sebagai manusia. Kita sangat sering melihat di televisi, dimana tersangka dipertontonkan, diborgol dengan baju tahanan dan bahkan diwawancarai oleh televisi. Saya hanya mencoba membayangkan, apabila ternyata para tersangka tersebut nantinya dinyatakan tidak bersalah, publik sudah terlanjur memberikan label pelaku kriminal terhadap mereka. Tidak mudah untuk menghapus label tersebut. Saya jadi teringat, bahwa upaya mempresentasikan tersangka ini sangat mungkin terinspirasi dari budaya militer Romawi kuno, yakni fustuarium yang merupakan hukuman yang dipertontonkan kepada publik dengan tujuan untuk mempermalukan sang “tersangka”.
Hukum kita memang tidak mengatur khusus soal hal tersebut. Asas praduga tidak bersalah memang masih menjadi sebuah konsep yang sangat abstrak, yang implementasinya sangat tergantung kepada otoritas. Misalnya, ada juga tersangka perkara korupsi, yang bisa dengan gagah berjalan dan tidak diperlakukan seperti Jessica, Ahmad Wazir ataupun para tersangka kasus “Mama Minta Pulsa”. Padahal bobot sangkaan tindak pidanannya juga tidak kalah “berat”.
Sebagai upaya untuk menyelesaikan paradoks mengenai asas praduga tidak bersalah, diperlukan sebuah perangkat hukum normatif yang mengatur soal batasan dalam mempresentasikan tersangka. Dalam hal ini, asas praduga tidak bersalah harus ditafsirkan secara fundamental dalam upaya untuk melindungi hak tersangka agar jangan sampai ada kesalahan dalam menuduh, perangkat penyeimbang dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh negara dan perlindungan hak asasi manusia terhadap individu.
Aristo M.A Pangaribuan, S.H., LL.M
Ketua LKBH PPS UI dan
Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum UI
sumber gambar: CikalNews